Ade Komarudin, Ketua DPR RI sekaligus politisi Partai Golkar menyetujui adanya kenaikan harga rokok hingga menembus Rp 50.000 per bungkus. Dalihnya, naiknya harga rokok bakal mengurangi kebiasaan masyarakat merokok dan rokok merupakan musuh bangsa.
Persetujuan Ade perihal naiknya harga rokok hingga menembus 400- 500 persen tersebut , ia ungkapkan Jumat (19/8) siang di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sebagaimana dilansir kompas.com, dengan naiknya harga rokok, pendapatan Negara juga otomatis akan bertambah karena APBN bakal terbantu.
Ucapan Ade ini dilontarkan saat menanggapi hasil penelitian Pusat Kajian Ekonomi dan Kebijakan Kesehatan Fakultas Kesehatan Manusia Universitas Indonesia (PKEKKFKM UI) menyebutkan 46 persen pecandu rokok akan berhenti bila harga rokok menembus angka di atas Rp 50 ribu perbungkus. Semisal temuan ini disetujui pemerintah, tak pelak, jutaan perokok aktif bakal kelimpungan.
Perihal hasil penelitian dan survey yang sudah dilakukan ini, dijelaskan oleh Hasbullah Thabrany selaku Kepala PKEKKFKM UI beberapa hari lalu. Akibat statementnya tersebut, tak urung menimbulkan kesimpangsiuran di kalangan masyarakat serta pelaku industri rokok. Pasalnya, bila nantinya pemerintahan Jokowi �JK menyetujui wacana kenaikan harga rokok hingga 5 kali lipat dari harga sekarang, maka bakal menimbulkan efek domino yang fatal.
Survey yang dilakukan terhadap 1.000 responden pada bulan Desember 2015 lalu, didapatkan hasil bahwa 41,3 persen responden menikmati rokok 1 � 2 bungkus per hari.Artinya, bila ditotal dalam satu bulan, seorang perokok aktif akan mengeluarkan biaya berkisar Rp 450.000- Rp 600.000 per bulan. Terkait hal itu, sebanyak 80,3 persen responden menyetujui kenaikan harga rokok untuk membiayai Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Ada yang menarik atas munculnya penelitian yang bisa berimplikasi atas naiknya harga rokok hingga kemungkinan akan mampu menekan jumlah perokok aktif turun sampai 50 persen. Hal paling dominan, naiknya harga rokok bakal menggerogoti APBN. Sebab, selama ini cukai rokok berhasil menyumbang sedikitnya Rp 162,2 triliun serta berimbas pada membengkaknya angka pengangguran setelah pabrik rokok mengalami gulung tikar karena turunnya omzet penjualan secara drastis.
Mata rantai produksi rokok nasional, sebenarnya tidak sesederhana seperti yang diungkapkan Ade. Pasalnya, untuk menjadi barang dagangan berupa rokok, baik yang murahan mau pun mahal, prosesnya dimulai dari penanaman tembakau yang melibatkan jutaan petani. Begitu pun dengan racikan pendukung berupa cengkeh serta saos, diduga ada ratusan ribu tenaga kerja yang terlibat.
Setelah tembakau berikut bahan lainnya masuk pabrik rokok, maka terdapat jutaan tenaga kerja yang terlibat di dalamnya. Mulai tukang linting, angkutan, distribusi hingga pemasaran. Dari sini terlihat, bila harga rokok menembus angka Rp 50.000 per bungkus, otomatis omzet produksi akan mengalami penurunan tajam. Implikasinya, para buruh akan dirumahkan. Demikian pula jutaan petani tembakau, jelas bakal kehilangan mata pencahariannya.
Pertanyaannya, apakah populasi perokok akan menurun tajam ? Tidak. Pasalnya, perokok akan mencari alternatif lain berupa melinting sendiri. Jutaan perokok aktif tak gampang melepaskan zat nikotin yang terlanjur mengeram di tubuhnya masing- masing selama puluhan tahun. Karena harga rokok tidak terbeli, mereka dipastikan berinovasi sendiri agar kepulan asap tetap mampu dinikmati.
Sebaliknya, beralihnya perokok aktif ke lintingan akan mengakibatkan omzet perusahaan rokok dalam negeri terjun bebas hingga berdampak pada merosotnya pendapatan negara dari sektor cukai. Di sisi lain, para produsen rokok abal- abal alias tanpa cukai, nantinya bakal menikmati masa panen. Sebab, pasar merespon positif banjirnya rokok illegal.
Mayoritas perokok, sebenarnya sangat sadar bahaya akibat tembakau. Beragam penyakit senantiasa mengancam mereka, namun, prakteknya memang sangat susah melepaskan diri dari ketergantungan. Dengan adanya wacana kenaikan rokok hingga Rp 50.000 per bungkus, maka bola liar sekarang ada di tangan pemerintahan Jokowi-JK. Apakah nantinya wacana tersebut akan disetujui ? Kita tunggu perkembangannya. (*)
Comments